23 Januari 2012

Fiqih Siyasah

1. Pendahuluan Pemimpin dan juga system pemerintahan dalam suatu Negara merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya pemimpin di suatu Negara maka Negara akan tertata dengan rapi sesuai dengan system yang diberlakukannya. Dari zaman ke zaman suatu system pemerintahan selalu berubah, mulai dari zaman Rasulullah saw dan juga Khulafaurrasyidin, kini memasuki pemerintahan pada masa pasca Khulafaurrasyidin. Dimana pada masa tersebut memiliki system dan juga cirri-ciri pemerintahan tersendiri yang diterapkan dalam suatu Negara. Berikut kami akan menjelaskan sedikit tentang system pemerintahan yang terjadi pada masa pasca Khulafaurrasyidin. 2. Pembahasan Pada umumnya pasca Khulafaurrasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mua’wiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang diperangi dalam perang Siffin, kemudian berlanjut pada kekisruhan Negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh tuntunan rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih dimasa adanya para sahabat. Kita bisa melihat kekisruhan yang terjadi dalam pemerintahan Islam pada masa itu yang menimbulkan banyak sekali masalah yang pada akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan apakah tuntunan Islam dalam perpolitikan (system Negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (Khalifah). Kini kita dapat melihatnya dengan memperhatikan system pemerintahan yang terjadi pasca Khulafaurrasyidin: a. Kekhalifahan Bani Umayyah (41-132 H/ 661-750 M) Diambil dari salah satu nama Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin terkemuka zaman Jahiliyah, keponakan dari Hasyim bin Abdu Manaf. Pemimpin pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, selanjutnya ada 13 Khalifah yang memimpin, diantaranya Yazid, Marwan, Abdul Malik, Al-Walid, Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz Hisyam dan Ibrahim. Kemudian hasan bin Ali dibai’at oleh pengikut setia tetapi mengundurkan diri sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam. Yang kemudian dikenal dengan Tahun Persatuan (‘am al-Jama’ah), dimana Muawiyah menjamin keselamatan dan kemanan jiwa, harta keturunan Ali bin Abi Thalib. Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersufat demokrasi berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh mnarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap memakai nama Khalifah namun dia memberikan interpretasi baru dari kata0kata itu untuk menggunakan jabatan tersebut. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Azizdan Hasyim ibn Abdul Aziz. Dari adanya para pemimpin atau Khalifa terbesar tersebut banyak kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam dunia Islam. Banyaknya ekspansi-ekspansi yang dilakukan keluar daerah, diantaranya adalah Timur, Barat. Maka dalam hal ini perluasan Islam begitu sangat luas. Disamping adanya ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam berbagai bidang. Muawiyah mendirikan pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Meskipun banyak keberhasilan dicapai pada dinasti ini namun tidak berarti politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. b. Kehidupan Perpolitikan dan Kemasyarakatan Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Umayyah tidak begitu jauh berbeda denngan masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Dengan landasan Al-Quran serta sunnah Rasulullah, kehidupan bermsyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan, antara lain: 1. Kedaulatan ditangan syara’ 2. Kekuasaan milik umat 3. Mengangkat khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin 4. Hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hokum-hukum syara’ Dengan keempat pilar ini pemerintahan ditegakkan atas wilayah-ilayah yang menjadi bagian Negara Islam, yaitu tegaknya hokum Islam di muka bumi dapat dilaksanakan. Setiap takluknya suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat Islam langsung ditegakkan disana. Dan berbondong-bondong bangsa masuklah kedalam naungan Islam. Masuknya manusia ke dalam Islam secara berbangsa-bangsa ini adalah hal yang sulit dibayangkan bagaimana terjadinya dimasa kini serta berbondong-bondongnya manusia memeluk agama hanyalah terjadi kepada al-Islam. Dalam kehidupan masyarakat, hukum Islam tetap ditegakkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur masyarakat Islam, walaupun semakin banyak suku bangsa yang masuk dalam daulah Islam (Spanyol di Barat – India di Timur ; Prancis di Utara – Nubia [Afrika] di Selatan). Dengan hukum-hukum Islam maka keadilan Tasyri’ dapat ditegakkan pula (Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam, 1995). Piagam Madinah yang mencerminkan keragaman masyarakat yang ada tetap menjadi rujukan dengan tidak mengutamakan satu suku bangsa diantara yang lain, Kehadiran Islam di daerah-daerah taklukannya bagaikan hujan yang mengguyur padang yang kering, sehingga menumbuhkan benih-benih tumbuhan yang bersemi, berbunga dan menampakkan buahnya. Kejayaan Islam pun nampak. Bila pada masa Khulafaur Rasyiddin kejayaan secara fisik masih belum terlihat, maka mulai Masa Umayyah inilah mulai terlihat hasilnya. Sarjana-sarjana Islam mulai bermunculan, Ilmu Pengetahuan berkembang pesat, pembangunan fisik marak dilakukan. Kota-kota baru dibangun. Inilah karunia Allah. Di mana Islam kemudian menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kejayaan Islam ini salah satunya ditunjukkan dengan kesejahteraan yang terjadi. Diriwayatkan dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh Yahya bin Sa’ad menceritakan bahwa: “Saya diutus oleh Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan zakat di Afrika, dan saya jalankan tugas itu. Saya cari orang-orang fakir di sana untuk diberi zakat, tetapi saya tidak mendapati adanya orang-orang fakir dan miskin yang mau menerima zakat. Dan orang-orang mengatakan: ‘Umar bin Abdul Aziz yang membuat orang-orang menjadi kaya’” Namun seringkali keberadaan khalifah-khalifah ini dipandang sebelah mata. Kebesaran yang dibangunnya seolah pupus dengan khilaf yang dilakukannya yang mungkin apabila dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin masa sekarangpun, masih jauh perbandingannya. Mungkin perbuatan Yazid pada Peristiwa Karbala, 10 Muharam, pembantaian Husein r.a. dan keluarganya memang sepertinya tidak dapat dimaafkan, namun Mu’awiyah mungkin bisa dinilai berbeda. Beliau adalah orang yang sejaman dengan Rasul saw, Khalifah kelima, Politikus ulung, serta penghalau Byzantium di daerah utara Islam. Namun karena kesalahannya memaksakan anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sehingga menerapkan sistem putera mahkota dalam pemerintahan Islam maka seolah pupus kebajikan yang dibuatnya. c. Kebijakan Politik Dalam & Luar Negeri - Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. - Memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannyamencapai puncak kekuasaan. - Menumpas orang-orang yang beroposisi dan pemberontak. - Membangun kekuatan militer yang terdiri dari 3 angkatan: Angatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian. - Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam ke Timur dan Barat. - Merekrut orang-orang non-Muslim sebagai pejabat dalam pemerintahan (kecuali zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz). - Mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki. Walau Monarki, Dinasti ini memakai gelar khalifah. Mu’awiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Status jabatan khalifah diartikan sebagai “wakil Allah” dalam memimpin umat (QS. Al-Baqarah: 30). Keputusan khalifah berdasarkan atas perkenan Allah. Siapa yang menentangnya = kafir. - Pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan. Setiap provinsi dikepalai oleh gubernur dengan gelar wali/amir, diangkat oleh khalifah. Lembaga yang ada terdiri dari al-Katib, al-Hajib & Diwan. d. Ciri-ciri Dinasti Umayyah a. Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi. b. Khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif. c. Arah kebijaksanaan lebih banyak pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan negara. d. Dinasti ini bersifat eksklusif. e. Kurang melaksanakan musyawarah. Setelah mengalami masa keemasan beberapa tahun, dinasti Umayyah pun akhirnya runtuh. Hal ini dikarenkan karena beberapa factor, yaitu: 1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu hal yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan Aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana. 2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi dimasa Ali. 3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku ArabiaUtara (Bani Qays) dan Arabia Selatanmakin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendaptkan kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. 4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. 5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawalli yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. 3. Kesimpulan Pada dasarnya kekuasaan yang pegang pada masa Umayyah adalah system yang bagus, hal itu terlihat banyaknya ekspansi yang dilakukan ked daerah-daerah lain sehingga Islam makin berkembang di daerah luar. Hanya saja pada masa kekuasaan Umayyah banyak sekali masalah-masalah yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah system pengangkatan putera mahkota. Dimana ketika Umayyah meninggal dunia maka salah satu dari keluarganya lah yang meneruskan. Hal ini lah yang menjadikan pemerintahan dan kekuasaan Umayyah runtuh dengan sendirinya.

18 Januari 2012

Pentingnya Pendidikan

pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. dengan adanya pendidikan maka seseorang dapat meraih apa yang di cita-citakan. pendidikan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. pada hakikatnya ketika manusia dilahirkan sudah mendapatkan pendidikan. yaitu seorang ayah yang melantunkan adzan di telinga kanan seorang bayi dan kemudian iqomat di telinga kiri. ini menandakan bahwa pendidikan yang pertama kali diberikan adalah pendidikan yang disalurkan dari orang tua secara langsung. hal ini juga membuktikan bahwa pengetahuan yang pertama kali di dengar oleh manusia adalah kalimat thoyyibah (kalimat yang baik). secara tidak langsung manusia yang dilahirkan sudah dalam keadaan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa. untuk kita semua, sebagai calon orang tua dan juga orang tua. didiklah anak-anak kita sesuai dengan cita-cita yang diianginkan oleh mereka, tetapi tetap dalam landasan iman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. bukan hanya itu, pengawasan dan perhatian kepada buah hati pun sangat penting. logikanya adalag, ketika seorang anak kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua maka anak tersebut akan mecari perhatian dari orang lain dengan cara yang dimilikinya. mulai dari menjaili teman bermainnya, membuat gaduh dalam kelas ketika belajar dan lain sebagainya. ini diakibatkan karena kurangnya perhatian dari orang tua yang terlalu sibuk dengan urusannya. ingat, anak adalah titipan dari Tuhan Yang Maha Esa. kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban mengenai anak yang dititipkan kepada kedua orang tua. oleh karenanya marilah kita sadar diri untuk memperbaiki perilaku anak dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepadanya. perhatian dan kasih sayang adalah kunci utama dalam merubah sikap dan perilaku anak yang kurang baik.

Perbandingan Madzhab

Pokok-pokok pikiran dan metode istimbat Hukum Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Imam Syafi’I dilahirkan di Guzzah suatu kampong dalam jajahan Palestina, masih wilayah Askalan pada tahun 159 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya imam Hanafi. Kemudian beliau dibawa ibunya ke Makkah dan di besarkan disana. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas ibn Utsman ibn Syafi’I Al- Muthallibi dari keturunan Muthallib bin Abi Manaf, yaitu kakek yang ke empat dari Rasul dan kakek yang ke Sembilan dari As-Syafi’i. Pendapat-pendapat As-Syafi’I dan pemikirannya - Assyafi’I tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu kalam itu dibangun oleh golongan mu’tazilah , sedangkan mereka menyalahi jalan yang di tempuh ulama salaf dalam mengungkapkan Aqidah dan A-Quran. - Tentang imam beliau berpendapat, bahwa imam itu terdiri dari Tashdiq dan amal, dia bisa bertambah dan berkurang, yaitu bertambah dengan amal dan berkurang dengan amal. - Mengenai imamah beliau berpendapat, bahwa imamah itu harus ada untuk menjaga kemaslahatan ummat dan beliau berpendapat bahwa imamah itu harus dipegang oleh orang Quraisy dan dapat terjadi tanpa baiat. Pendirian Imam Syafi’I tentang bid’ah - Pendiriannya tentang bid’ah yaitu: bid’ah yang terpuji yaitu bid’ah yang sesuai dengan sunnah sedangkan yang tercela adalah menyalahi as-sunnah. - Selalin itu menurut beliau bahwa bid’ah adalah semua perbuatan yang diada-adakan dengan menyalahi Al-Quran, sunnah, ijma. - Sedang bid’ah yang baik menurutnya adalah barang yang diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikitpun dari semua sumber hokum yang disebutkan itu. - Kemudian terhadap ahli bid’ahnya beliau pernah berkata: “barang siapa yang menganggap baik terhadap suatu perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan tidak pula diperintahkan beliau, maka berarti ia telah berbuat syara’. Dasar-dasar hokum yang dipakai oleh Imam Syafi’i - Al-Quran - As-Sunnah - Ijma, dalam arti semua para sahabat telah menyepakati. - Qias: imam Syafi’I memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hokum di atas tidak tercantum, juga dalam keadaan tidak memaksa. - Istidlal - Qaul qadim dan qaul jaded, imam Syafi’I adalah pakar Yuruprudensi islam, salah satu tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hokum. - Karena pendirian beliau yang demikian itu maka muncullah apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jaded sebagai pengubah keputusan hokum yang pertama. - Dengan demikian qaul qadim telah terhapus dengan qaul jaded, dengan alas an: beliau menemukan dan berpendapat bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah pindah ke Mesir atau dengan kata lain meralat pendapat lama. Kemudian beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi. Factor yang kedua inilah barangkali jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas, karena walaupun bagaimana beliau tetap lebih bersifat hati-hati dalam menetapkan suatu hukum. Imam Ahmad bin Hambal Nama lengkapnya adalah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal bin Hilal Addahiki as-Syaibanu al Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Cara Imam Hambali Memberikan Fatwa Imam Hambali dalam memberikan fatwa tengtang agama dan hokum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab dan menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : saya belum tahu, atau saya tidak tahu atau saya belum memeriksanya”, kalau memang belum jelas benar perkara yang dinyatakan kepada beliau. Dasar-dasar Hukum Imam Hambali - Nash Al-Quran dan Hadits, yaitu apabila beliau tidak memperoleh nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya. - Fatwa sahabi, yakni ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliauu mendapat suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang pada pendapat ini. - Pendapat sebagian para sahabat, yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat dengan Al-Quran dan Sunnah. - Hadits Mursal atau Hadits Dhaif, akan tetap terpakai apabila tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat. - Qias, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan. Macam-macam Istihsan - Istihsan bin Nash, hokum pengecualian berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, seperti makan minum dalam keadaan lupa disiang hari pada bulam ramdhan. - Istihsan berlandaskan ijma’, kebolehan jual beli barang pesanan yang bertentangan dengan hokum asal jual beli yang mengharuskan adanya barang pada saat akad. - Istihsan berlandasrkan ‘urf (adat) seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat masak, berdasarkan setempat. - Istihsan berlandaskan mashlahah mursalah, seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Ikhtilaf Mengenai Ishtihsan - Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hokum, dengan menggunakan dalil-dalil yang menjadi dasar istihsan. - Imam Syafi’I menolak istihsan sebagai landasan hokum, menurut beliau menetapkan hokum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. Macam-macam Mashlahah - Mashlahah Mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hokum untuk merealisasikannya. - Mashlahah Al-Mulghah yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat. - Mashlahah Mursalah. Banyak terdapat dalam masalah-masalah muamalah. Ikhtilaf Ulama pada Mashlahah - Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hokum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasul saw. - Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah Kalangan Zahiriyah, sebagian Syafi’iyah dan Hnafiyah tidak mengakui mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hokum, karena menganggap syariat islam tidak lengkap dengan asumsi ada maslahah yang belum tertampung dalam huum-hukumnya. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian Syafi’iyah berpendapat, bahwa maslahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hokum. Syarat-syarat Maslahah Mursalah - Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki. - Sesuatu yang maslahat itu haruslah bersifat umum. - Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidaklah bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasannya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ikhtilaf di Sekitar Fatwa Sahabat - Para ulama tidak ada yang berbeda pendapat mengenai perkataan para sahabat. Karena perkataan para sahabat tentunya bukan hanya dari hasil pikirrannya sendiri, tetapi berdasarkan kepada perkataan Rasulullah. Yang kemudian dapat dijadikan hujjah, begitupun dengan perkataan para sahabat. - Ada pun yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah tentang perkataan sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian. Tokoh-tokoh Sahabat yang Sering Memberikan Fatwa - Abu Bakar Shiddiq - Umar bin Khattab - Utsman bin Affan - Ali bin Abi Thalib - Ibnu Mas’ud - Siti Aisyah Pokok-pokok Pikiran dan Istimbat Hukum Imam Malik Kepandaian beliau dalam ilmu hadits dapat dilihat dan diketahui melalui para ahli hadits, antara lain: - Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’I berkata: Apabila dating hadits kepadamu dari Imam Malik, maka pegang teguhlah oleh kedua tanganmu, karena ia menjadi alas an bagimu. - Beliau pernah berkata: apabila disebut-sebut ulama ahli hadits, maka imam Malik bintangnya, dan tidak ada seorang pun yang aku percaya tentang hadits selain daripada imam Malik. Dasar-dasar Mazhab Imam Malik Dasar-dasar hokum yang diambil imam Malik dan dipergunakannya adalah: - Al-Quran - Sunnah Rasul yang beliau pandang sah - Ijma’ para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadits apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah. - Qiyas - Istishlah yaitu mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Pendapat Imam Malik dan Pendiriannya dalam Bidang Aqa’id - Dalamm bidang ini beliau tegas dalam memegang prinsip bahwasanya sebaik-baik urusan agama adalah yang telah menjadi sunnah dan sejelek-jeleknya urusan agama adalah yang diada-adakan. - Mengenai Qadar, beliau berdiri seimbang, artinya segala perbuatan manusia terjadi dengan ciptaan Allah, tetapi manusia memiliki daya usaha untuk mengusahakannya. - Mengenai kemakhlukan Al-Quran yang dikembangkan oleh Al-Jaham dan dianut oleh Qadariah dan Mu’tazilh yang sebenarnya tidak dapat dianggap menyimpang dari agama, Imam Malik tidak mempersoalkannya. Pokok-pokok Sebab Terjadinya Ikhtilaful Fuqaha Dalam Ijma dan Qiyas Factor yang menjadi penyebab terjadinya ikhtilaf: - Perbedaan Qiraat - Perbedaan dalam pengetahuan hadits - Perbedaan dalam penilaian keshahihan hadits - Perbedaan dalam menafsirkan teks (nash) - Adanya lafadz isytarak - Adanya dalil kontradiktif - Perbedaan qawa’id ushuliyah - Adanya keterbatasan teks (nash) • Syarat uatama bagi ijma itu sendiri adalah adanya kesepakatan yang terjadi antara ulama seluruhnya, jika pada masa shahabat, maka semua ulama yang ada pada masa itu harus sepakat dan satu pikiran. Jika tidak, maka sayarat utama tidak termasuk dan tidak dapat dikatan Ijma. • Disamping itu juga orang yang melakukan ijma harus memiliki ilmu pengetahuan dalam bidangnya, baik AL-Quran, Hadits dan sebagainya. • Jika untuk zaman sekarang untuk ijma mungkin tidak akan terjadi kembali, hanya saja cara untuk melakukan ijma masih dapat dilakukan. Seperti yang bayak kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. • Untuk menyikapi hal yang terjadi maka kita harus mengembalikan setiap persoalan tersebut pada nash Al-Quran dan juga Sunnah atau hadits Rasulullah saw. Dengan demikian setiap keputusan yang diambil bukan atas dasar kesepakatan ulama sasja, tetapi memiliki dasar yang jelas, yaitu Al-Quran dan Hadits. • Adapun terjadinya ijma, itu terjadi pada ijma shahabat. Dimana pada masa shahabat terjadi banyak sekali perselisihan dalam berbagai bidang, salah satunya adalah mengenai cara melafalkan Al-Quran, pembukuan Al-Quran dan masih banyak lagi. Pokok Sebab Terjadinya Ikhtilaful Fuqaha dalam Al-Quran dan Al-Sunnah Terjadinya ikhtilaful fuqaha terjadi pada saat: - Perbedaan dalam memahami Al-Quran dari segi bahasa. Dimana dalam Al-Quran setiap kata dlam Al-Quran memiliki makna hakiki dan majazi. Kemudian ada juga yang memiliki arti lebih dari satu (musytarak). Ada juga yang memiliki dua makna yaitu secara lughawi dan maknawi. - Adanya Ta’arudl (kontradiksi) antara nash Al-Quran, pertentangan satu sama lain dan tidak dapat dipertemukan. Menurut istilah, ta’arudl adalah dua dalil yang masing-masing dalilnya menafikan apa yang telah ditunjuki oleh dalil lain. - Untuk bisa lepas dari pertentangan itu maka ditempuh dua jalur: Pertama: golongan Hanafiyah dan yang sependapat dengan mereka menyelesaikannya dengan jalan tarjih. Kedua jumhur ulama menempuh jalan dikompromikan. Dengan demikian tidak ada kesan melemahkan salah satu dalil dari dua dalil yang dianggap bertentangan itu. Sebab Ikhtilaf Fuqaha dalam Memahami As-Sunnah - Perbedaan dalam penerimaan hadits - Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya) - Perbedaan mengenai kedudukan syahsiyah Rasul • Perbedaan ulama mengenai sumber hokum yang utama (Al-Quran) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang zhanni (tidak pasti) dalalah-nya. • Perbedaan mengenai sumber hokum yang kedua yaitu sunnah Rasul, yaitu dari segi wurud (penilaian dari segi sanad dan sebagian matan hadits), disamping dari segi dalalah-nya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah Rasul sudah dikaitkan dengan Syakhsiyah Rasul. • Perbedaan pendapat dalam Islam bukanlha mengenai persoalan dasar (pokok) melainkan perbedaan pandangan dan penilaian terhadap nashush yang memungkinkan memberikan celah-celah adanya perbedaan penafsiran.