3 April 2011

Sejarah Penulisan Hadits


1.      Pendahuluan
Hadits merupakan sumber yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah Al-Quran. Dengan adanya hadits, manusia dapat menjelaskan segala sesuatu yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran.  Hadits dan Al-Quran memang suatu kesatuan yang saling mendukung dan menguatkan. Banyak sekali ayat Al-Quran yang di dalamnya memperkuat bunyi hadits. Salah satu diantaranya adalah:
“Persiapkanlah oleh kamu sekalian yang lima sebelum datang yang lima. Sehat sebelum sakit, lapang sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, hidup sebelum mati.”...
Maksud dari hadits itu adalah bahwa kita diingatkan oleh Rasulullah untuk selalu mempersiapkan segala sesuatu sedini mungkin, jika kita tidak siap menghadapi segala sesuatu atau terlena dengan waktu yang dimiliki maka kita termasuk kedalam golongan orang yang merugi. Hal ini di pertegas oleh firman Allah dalam surat Al-‘Asr ayat 1-3.

 
1.  Demi masa.
2.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3.  Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Jelaslah sudah Al-Quran dan hadits tersebut saling melengkapi dan memperkuat serta meperjelas apa yang dimaksud dalam bunyi hadits tersebut. Begitupun sebaliknya, ketika Al-Quran hanya menjelaskan secara globalnya saja dalam suatu perkara, maka hadits yang menjelaskan lebih lanjut.
Oleh karena itu dirasalah sangat penting bagi kita untuk mengetahui sejarah pembinaan atau sejarah penghimpunan hadits sehingga kita bisa mempelajarinya dengan baik dan benar. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pada masa-masa hadits belum dibukukan dengan sempurna, banyak dari kalangan orang-orang Islam waktu itu yang tidak mempercayai hadits dan sunnah-sunnah Nabi, maka tidaklah heran bila waktu itu muncul sekelompok golongan yang menamakan dirinya “inkarussunnah”. Berikut akan kami jeleskan lebih lanjut mengenai pembinaan atau pembukuan hadits.
2.      Pembahasan
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits, Maka pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Pada masa itulah sejarah pembinaan hadits dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:
A. PENULISAN HADIS
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran.
Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W. Hal itu terjadi lantaran Rasulullah SAW. khawatir akan ada pencampuran antara ayat Al-Quran dengan hadits. Oleh karenanya hadits pada masa itu belum mendapatkan perhatian yang lebih khusus[1].
Baru setelah adanya perhatian yang khusus terhadap penulisan dan pembukuan hadits, para sahabat bergerak untuk mengumpulkan hadits-hadits nabi yang tersebar di para sahabat nabi yang menghafal hadits secara langsung. Sama seperti halnya Al-Quran, hadits pun yang diberikan oleh nabi langsung diperdengarkan dan dihafal oleh para sahabat. Banyak diantara sahabat Nabi yang memiliki tulisan hadits, diantaranya adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.tetapi sebagian dari sahabat berpendapat dan menyatakan keberatan terhadap apa yang dilakukan oleh Abdullah, mereka beranggapan bahwa apa yang diucapkan oleh Rasulullah adalah sabda. Sebagaimana yang di sabdakan oleh Nabi:
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu darikuselain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Oleh karena itu sahabat menggunakan semangatnya untuk menyebarkan hadits dengan metode riwayat. Adakalanya dengan lafal-lafal yang mereka dengar dari Nabi ketika telah tetap dihati mereka atau ada kalanya dengan sesuatu yang dapat mengantarkan kemaknanya.[2] Dapatlah disimpulkan bahwa, para sahabat dapat melakukan penulisan hadits, setelah adanya keterbiasaan sahabat dalam menulis Al-Quran.
Setelah melewati waktu yang cukkup lama dalam menerima firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan disalurkan kembali kepada para sahabat dengan berbagai cara, dan benar-benar tertanam dalam hati serta dapat mengetahui perbedaan dari Al-Quran dan hadits, maka Nabi tidak lagi melarang dan pula merasa khwatir kepada para sahabat untuk menulis hadits.
Hal itu diperkuat oleh Nabi ketika hendak wafat, Nabi berkata kepada Abdullah bin Amr batasan ilmu, yaitu:
Artinya: “Dengarkanlah kepadaku sebuah kitab yang aku akan menulis kitab untuk kalian, yang mana kalian tidak tersesat setelahnya.”
B. PENGHAPALAN HADIS
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis. Abu Said AIKhudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
C. PENGHIMPUNAN HADITS
Permulaan penghimpunan Hadits dibagi menjadi beberapa masa, yaitu:
1.      Abad II Hijriyah
ketika Islam sudah tersebar luas diseluruh penjuru dan para sahabat pun banyak yang berpencar diberbagai negara dan kota, maka timbullah suatu ke khawatiran dalam diri para sahabat tentang hadits yang sudah banyak tersebar. Artinya mereka khawatir akan timbul suatu permasalahan baru dikalangan orang-orang arab, yaitu perilaku bid’ah. Oleh karenanya para sahabat yang tersebar luas diberbagai negara dan kota bergegas untuk membukukan hadits, hal itu dilakukan dengan dasar kekhawatiran yang dimiliki oleh para sahabat dan juga perubahan perilaku yang mulai menjurus pada hal bid’ah.
Pada waktu ke Kholifahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz  (99-101 H). Beliau menulis surat untuk Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazzm diawal tahun 100 H, beliau adalah hakim di Madinah. Dalam surat itu Umar bin Abdul Azis berkata: “Lihatlah apa yang terjadi terhadap hadits Rasulullah, maka tulislah hadits, sesungguhnya aku khawatir terhadap pengajaran ilmu dan hilangnya ulama” (HR. Bukhari)[3].
Begitu juga beliau memerintah para Gubernur di ibu kota Negara Islam untuk mrngumpulkan dan membukukan hadits, dan diantara yang menulisnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az-Zuhri Almadani, ia adalah salah seorang imam yang alim dan seorang ulama Hijaz dari Syiria. Diantara ulama abad kedua yang mengumpulkan hadits dan masih tercampur dengan ucapan sahabat dan tabi’in dan terkumpul dalam suatu kitab adalah:
a.       Muwatto’ karangan Imam Malik
b.      Musnad Asy-Syafi’i oleh Imam Syafi’i (w. 204 H)
c.       Aljami’ oleh Imam Abdur Rozad bin Hamam As-Shor’ani (w. 211 H)
d.      Mushonnaf oleh Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H)
2.      Abad III Hijriyah
Diawal masa ini, ulama menyusun hadits dengan metode yang berbeda dengan metode para pendahulunya.
Seperti yang kita ketahui bahwa para pendahulu yang menyusun hadits masih banyak dicampur dengan ucapan sahabat dan fatwa tabi’in, oleh karenanya, ulama mulai menyendirikan hadits dalam pengumpulan dan penyusunannya. Dengan adanya hal yang demikian, maka hadits yang berasal dari Rasulullah, baik yang shahih atau pun yang cacat tidaklah dibedakan. Tetapi ada juga yang mengumpulkan hadits hanya yang shohih saja.
Adapun orang yang pertama kali menggunakan metode ini adalah Syaikh Muhadditsin, yaitu Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, yang kini kita kenal dengan kitab haditsnya adalah Shohih Bukhori. Setelah itu disusul dengan Imam Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi yang mengikuti jejak Al-Bukhori. Imam Muslim juga termasuk orang yang mengambil dari Al-Bukhari yang pada akhirnya banyak diantara kita yang memperoleh hadits dari Bukhari dan Muslim, walaupun hanya dengan sebuah kitabnya saja.
3.      Abad IV Hijriyah
Permulaan abab ke IV adalah munculnya batas yang memisahkan antara ulama mutaakhirib dengan para Rowi dan pembawa hadits. Adapun ulama yang hidup pada mulai abad IV H.diesebut dengan  ulama mutaakhirin, sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulama mutaqaddimin.
Ada perbedaan antara ulama mutaakhirin dan mutaqaddimin dalam meriwayatkan hadits. Jika mutaqaddimin meriwayatkan hadits dengan cara menukilkan secara langsung dari para penghafal, sedangkan mutaakhirin mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kitab-kitab hadits yang tadwin oleh ulama-ulama abad II dan III.[4]
Adapun kitab yang terkenal pada masa ini adalah:
a.       Tiga kitab mu’jam (Al-Kabir, Ash-Shogir dan Al Ausath) karangan Imam Sulaiman Ibnu Ahmad Attabroni (w. 260 H).
b.      Sunan Daruqutni (w. 321 H).
c.       Shohih Abi ‘Awanah Ya’qub Ibnu Ishaq (w. 254 H).
d.      Shohih Ibnu Huzaimah Muhammad Ibnu Ishaq (w. 316 H).
3.      Kesimpulan
Sesungguhnya pengumpulan hadits dari lisan-lisan para Rowi, memikirkan Rowi-Rowi penempatan mereka. Keterangan tentang shohih dan cacatnya hadits, hampir pada abad ke-IV, sebagaimana padamnya cahaya ijtihad. Orang-orang Islam banyak yang bertaklid dalam beragama, maka banyak kitab yang muncul setelah abad ke-IV yang menempuh metode pembelajaran atau mengumpulkan sesuatu yang bercerai berai, menjelaskan hadits yang asing atau ddengan metode ringkasan dan pendekatan.
Oleh karena itu, kita selaku pemakai sunnah dan hidits dari Rasulullah harus bisa membedakan antara hadits yang memang benar-benar shohih dengan hadits yang dho’if, hasan bahkan hadits palsu. Hal itu diperuntukan agar sunnah dan hadits yang diperuntukan untuk kita tetap terjaga dan terlestarikan dengan murni tanpa ada campuran sedikitpun, namun buka hanya dilestarikan dan dijaga saja, tetapi juga diamalkan sesuai dengan sunnah dan hadits Rasulullah SAW.


DAFTAR PUSTAKA
Muslim Komunitas., Indonesia, Sejarah Pembinaan Hadits, CayberMQ.
Soetari Ad., H. Endang, 2000 Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press.
Yunus., Mahmud, Dasar-dasar Ilmu Hadits, Semarang: Aneka Ilmu

Hubungan Hadits Dengan Al-Quran
Hadits pada umumnya di definisikan ulama seperti definisi Assunah yaitu “segala sesuatu yang dinishbatkan kepad Muhammad s.a.w. baik ucapan perbuatan dan taqrir (perbuatan), maupun sifat fisik atau psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi ataupun sesudah menjadi nabi. Sementara ulama ushul fiqh membatasi pengertian hadits hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad s.a.w. yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum , maka ketiga hal ini mereka namai Assunah. Pengertian hadits seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Allah.
Muhammad Al-Ghazali dalam bukkunya Assunah Annabawiyah Baina Ahlulfiqh Wa Ahlul Hadits, menyatakan bahwa para imam fiqh menetapkan hukum-hukum dengan luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi jika tidak sejalan mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya di tetapkan oleh ulama-ulama fiqh. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangan kan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadits.
Pendapat yang demikian ketat tersebut tidak disetujui oleh Imam Malik dan para pengikutnya, mereka berpendapat bahwa Al-Hadits dapat saja diamalkan walaupun tidak sejalan dengan Al-quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadits tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadits tersebut, atau adanya ijma’ ulama yang menyangkut kandungannya. Karena itu dalam pandangan mereka, hadits yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya. Walaupun tida sejalan dengan Al-Quran.
Tetapi Imam Syafi’i justru menolak kedua pendapat tersebut, yaitu pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik yang moderat. Menurutnya Assunah dalam berbagai ragamnya boleh saja berbeda dengan Al-Quran baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?.

Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
Al-Quran menekanka bahwa hadits Rasulullah s.a.w. berfungsi menjelaskan maksud firman Allah (QS. 16:44) penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifatnya. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar dalam bukunya Assunah Fi Makanatiha Wafi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.






[1] Komunitas Muslim Indonesia. Sejarah Pembinaan Hadits. CayberMQ., h.2.
[2] Mahmud Yunus, Prof., Dasar-dasar Ilmu Hadits. Aneka Ilmu, Semarang., h.5.
[3] Ibid,.h.7
[4] H. Endang Soetari, Prof. Drs, Ad., M. Si. Ilmu Hadits. Amal Bakti Press (Bandung, 2000),.h. 53-54.