23 Januari 2012

Fiqih Siyasah

1. Pendahuluan Pemimpin dan juga system pemerintahan dalam suatu Negara merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya pemimpin di suatu Negara maka Negara akan tertata dengan rapi sesuai dengan system yang diberlakukannya. Dari zaman ke zaman suatu system pemerintahan selalu berubah, mulai dari zaman Rasulullah saw dan juga Khulafaurrasyidin, kini memasuki pemerintahan pada masa pasca Khulafaurrasyidin. Dimana pada masa tersebut memiliki system dan juga cirri-ciri pemerintahan tersendiri yang diterapkan dalam suatu Negara. Berikut kami akan menjelaskan sedikit tentang system pemerintahan yang terjadi pada masa pasca Khulafaurrasyidin. 2. Pembahasan Pada umumnya pasca Khulafaurrasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mua’wiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang diperangi dalam perang Siffin, kemudian berlanjut pada kekisruhan Negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh tuntunan rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih dimasa adanya para sahabat. Kita bisa melihat kekisruhan yang terjadi dalam pemerintahan Islam pada masa itu yang menimbulkan banyak sekali masalah yang pada akhirnya menimbulkan suatu pertanyaan apakah tuntunan Islam dalam perpolitikan (system Negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (Khalifah). Kini kita dapat melihatnya dengan memperhatikan system pemerintahan yang terjadi pasca Khulafaurrasyidin: a. Kekhalifahan Bani Umayyah (41-132 H/ 661-750 M) Diambil dari salah satu nama Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin terkemuka zaman Jahiliyah, keponakan dari Hasyim bin Abdu Manaf. Pemimpin pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, selanjutnya ada 13 Khalifah yang memimpin, diantaranya Yazid, Marwan, Abdul Malik, Al-Walid, Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz Hisyam dan Ibrahim. Kemudian hasan bin Ali dibai’at oleh pengikut setia tetapi mengundurkan diri sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam. Yang kemudian dikenal dengan Tahun Persatuan (‘am al-Jama’ah), dimana Muawiyah menjamin keselamatan dan kemanan jiwa, harta keturunan Ali bin Abi Thalib. Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersufat demokrasi berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh mnarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap memakai nama Khalifah namun dia memberikan interpretasi baru dari kata0kata itu untuk menggunakan jabatan tersebut. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Azizdan Hasyim ibn Abdul Aziz. Dari adanya para pemimpin atau Khalifa terbesar tersebut banyak kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam dunia Islam. Banyaknya ekspansi-ekspansi yang dilakukan keluar daerah, diantaranya adalah Timur, Barat. Maka dalam hal ini perluasan Islam begitu sangat luas. Disamping adanya ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam berbagai bidang. Muawiyah mendirikan pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Meskipun banyak keberhasilan dicapai pada dinasti ini namun tidak berarti politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. b. Kehidupan Perpolitikan dan Kemasyarakatan Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Umayyah tidak begitu jauh berbeda denngan masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin. Dengan landasan Al-Quran serta sunnah Rasulullah, kehidupan bermsyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan, antara lain: 1. Kedaulatan ditangan syara’ 2. Kekuasaan milik umat 3. Mengangkat khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin 4. Hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hokum-hukum syara’ Dengan keempat pilar ini pemerintahan ditegakkan atas wilayah-ilayah yang menjadi bagian Negara Islam, yaitu tegaknya hokum Islam di muka bumi dapat dilaksanakan. Setiap takluknya suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat Islam langsung ditegakkan disana. Dan berbondong-bondong bangsa masuklah kedalam naungan Islam. Masuknya manusia ke dalam Islam secara berbangsa-bangsa ini adalah hal yang sulit dibayangkan bagaimana terjadinya dimasa kini serta berbondong-bondongnya manusia memeluk agama hanyalah terjadi kepada al-Islam. Dalam kehidupan masyarakat, hukum Islam tetap ditegakkan sebagai satu-satunya hukum yang mengatur masyarakat Islam, walaupun semakin banyak suku bangsa yang masuk dalam daulah Islam (Spanyol di Barat – India di Timur ; Prancis di Utara – Nubia [Afrika] di Selatan). Dengan hukum-hukum Islam maka keadilan Tasyri’ dapat ditegakkan pula (Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam, 1995). Piagam Madinah yang mencerminkan keragaman masyarakat yang ada tetap menjadi rujukan dengan tidak mengutamakan satu suku bangsa diantara yang lain, Kehadiran Islam di daerah-daerah taklukannya bagaikan hujan yang mengguyur padang yang kering, sehingga menumbuhkan benih-benih tumbuhan yang bersemi, berbunga dan menampakkan buahnya. Kejayaan Islam pun nampak. Bila pada masa Khulafaur Rasyiddin kejayaan secara fisik masih belum terlihat, maka mulai Masa Umayyah inilah mulai terlihat hasilnya. Sarjana-sarjana Islam mulai bermunculan, Ilmu Pengetahuan berkembang pesat, pembangunan fisik marak dilakukan. Kota-kota baru dibangun. Inilah karunia Allah. Di mana Islam kemudian menjadi rahmatan lil ‘alamin. Kejayaan Islam ini salah satunya ditunjukkan dengan kesejahteraan yang terjadi. Diriwayatkan dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh Yahya bin Sa’ad menceritakan bahwa: “Saya diutus oleh Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan zakat di Afrika, dan saya jalankan tugas itu. Saya cari orang-orang fakir di sana untuk diberi zakat, tetapi saya tidak mendapati adanya orang-orang fakir dan miskin yang mau menerima zakat. Dan orang-orang mengatakan: ‘Umar bin Abdul Aziz yang membuat orang-orang menjadi kaya’” Namun seringkali keberadaan khalifah-khalifah ini dipandang sebelah mata. Kebesaran yang dibangunnya seolah pupus dengan khilaf yang dilakukannya yang mungkin apabila dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin masa sekarangpun, masih jauh perbandingannya. Mungkin perbuatan Yazid pada Peristiwa Karbala, 10 Muharam, pembantaian Husein r.a. dan keluarganya memang sepertinya tidak dapat dimaafkan, namun Mu’awiyah mungkin bisa dinilai berbeda. Beliau adalah orang yang sejaman dengan Rasul saw, Khalifah kelima, Politikus ulung, serta penghalau Byzantium di daerah utara Islam. Namun karena kesalahannya memaksakan anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sehingga menerapkan sistem putera mahkota dalam pemerintahan Islam maka seolah pupus kebajikan yang dibuatnya. c. Kebijakan Politik Dalam & Luar Negeri - Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. - Memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannyamencapai puncak kekuasaan. - Menumpas orang-orang yang beroposisi dan pemberontak. - Membangun kekuatan militer yang terdiri dari 3 angkatan: Angatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian. - Meneruskan perluasan wilayah kekuasaan Islam ke Timur dan Barat. - Merekrut orang-orang non-Muslim sebagai pejabat dalam pemerintahan (kecuali zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz). - Mengubah sistem pemerintahan dari bentuk khalifah yang bercorak demokratis menjadi sistem monarki. Walau Monarki, Dinasti ini memakai gelar khalifah. Mu’awiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Status jabatan khalifah diartikan sebagai “wakil Allah” dalam memimpin umat (QS. Al-Baqarah: 30). Keputusan khalifah berdasarkan atas perkenan Allah. Siapa yang menentangnya = kafir. - Pembaharuan di bidang administrasi pemerintahan. Setiap provinsi dikepalai oleh gubernur dengan gelar wali/amir, diangkat oleh khalifah. Lembaga yang ada terdiri dari al-Katib, al-Hajib & Diwan. d. Ciri-ciri Dinasti Umayyah a. Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi. b. Khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif. c. Arah kebijaksanaan lebih banyak pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan negara. d. Dinasti ini bersifat eksklusif. e. Kurang melaksanakan musyawarah. Setelah mengalami masa keemasan beberapa tahun, dinasti Umayyah pun akhirnya runtuh. Hal ini dikarenkan karena beberapa factor, yaitu: 1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu hal yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan Aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana. 2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi dimasa Ali. 3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku ArabiaUtara (Bani Qays) dan Arabia Selatanmakin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendaptkan kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. 4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. 5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawalli yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. 3. Kesimpulan Pada dasarnya kekuasaan yang pegang pada masa Umayyah adalah system yang bagus, hal itu terlihat banyaknya ekspansi yang dilakukan ked daerah-daerah lain sehingga Islam makin berkembang di daerah luar. Hanya saja pada masa kekuasaan Umayyah banyak sekali masalah-masalah yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah system pengangkatan putera mahkota. Dimana ketika Umayyah meninggal dunia maka salah satu dari keluarganya lah yang meneruskan. Hal ini lah yang menjadikan pemerintahan dan kekuasaan Umayyah runtuh dengan sendirinya.