Sejarah
Ilmu Kalam
Teologi,
sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar sesuatu agama. Setiap orang
ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi
yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi
seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak
mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam
istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din dan oleh karena
itu soal-soal dalam Islam selalu diberi nama Kitab Usul al-Din oleh para
pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau
keyakinan-keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ‘ilm al-tauhid.
Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan Islam,
sebagai agama monoteisme, merupakan sifat yang terpenting diantara segala
sifat-sifat Tuhan.
Selanjutnya
teologi Islam disebut juga dengan ‘ilm kalam. Kalam adalah kata-kata.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuahan maka teologi Islam disebut
‘ilm kalam, karena soal kalam, sabda Tuhan atau al-Quran pernah
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX
dan X masehi.
Teologi
dalam Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam
bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan
kurang bersifat filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan
sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau
golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam.
Dalam
Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang
bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada juga yang mempunyai
sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang
yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai denga jiwanya teologi
tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih
dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal.
Kedua
corak teologi ini, liberal dan tradisional tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
dasar Islam. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran
itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar
dari Islam.
Lebih
jauh lagi dijelaskan bahwa persoalan yang timbul dalam Islam bukanlah pada persoalan
teologi namun dalam bidang politik. Tetapi persoalan politik ini juga melebar
menjadi masalah teologi. Ada beberapa perkembangan yang menjelaskan tentang
perkembangan teologi Islam.
Ketika
nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari
Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di
bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Dipertengahan
kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk
Persia_Euphrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke
Yaman-Hijaz-Syria. Denga berpindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke
Semenanjung Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan
dagang itu, menjadi kota dagang.
Dari
dagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Dagang di kota ini dipegang oleh
Quraisy dan sebagai orrang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyarakat
pemerintahan Mekkah juga terletak di tangan mereka. Kekuasaan sebenarnya
terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk
menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat
yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad, sehingga
beliau dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke
Yastrib di tahun 622 M.
Suasana
masyarkat di Yastrib berlainan dengan suasan Mekkah. Kota ini bukanlah kota
pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari
bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arabnya tersusun dari dua suku bangsa, al-Khazraj
dan ‘aus. Ketika pemuka-pemuka kedua suku bangsa ini pergi naik haji ke Mekkah,
mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad dan dalam satu
perjumpaan dengan beliau mereka meminta supaya Nabi pindah ke Yastrib.
Ketika
beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada
kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi Semenanjung Arabia. Negara Islam
pada waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan
suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad
dalam berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah.
Jadi
tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad
sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah soal
khilafah, soal pengganti Rasulullah sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau
Rasul, Nabi tentu tak dapat digantikan.
Sejak
wafatnya Rasulullah dan timbulnya perselihan mulai dari menggantikan posisi
Nabi menjadi pemimpin sehingga para sahabat yang telah memimpin menggantikan
Nabi, baik dalam bidang politik atau agama, maka dalam hal ini pula yang
mengakibatkan munculnya persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir
dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan
siapa yang masih tetap dalam Islam.
PAHAM
TEOLOGIS KAUM KHAWARIJ
Khawarij
memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn ‘As, Abu Musa Al Asy-‘ari dan
lain-lain yang menerim arbitrase adalah kafir, dengan alasan dalil Al Quran:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَآاَنْزَل اللهُ فَاُولَئِكَ هُمُ الَكافِرُونَ.
Dari
ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma ilallah. Karena keempat
pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar
dari Islam, yaitu murtad atau opostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum
khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut
sejarah hanya orang yang dibebani membunuh ‘Ali Ibn Abi Thalib yang berhasil
dalam tugasnya.
Dalam
lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan
paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut
mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku Quraisy saja, bahkan bukan
hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asalkan orang Islam, sekalipun
ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika.
Menurut
Al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte dan menurut
Al-Baghdadi dua puluh subsekte. Al-Asy’ari menyebut subsekte-subsekte yang
jumlahnya lebih besar lagi. Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang
Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan
bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak
membawa perubahan dalam sifat-sifat ke-Badawian mereka. Mereka tetap bersikap
bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap
jauh dari ilmu pengetahuan.
Ajaran-ajaran
Islam, sebagai terdapat dalam Al-Quran dan Hadits mereka artikan menurut
lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham
mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi
sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan
sikap fanatik ini membuat merea tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap
agama Islam menurut paham mereka, walaupun penyimpangan dalam bentuk kecil.
Al
Muhakkimah
Golongan
khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali, disebut golongan
al-Muhakkimah. Bagi mereka, ‘Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn ‘As dan
Abu Musa Al Asy’ari dan semua orang yang menyetuji arbitrase bersalah dan
menjadi kafir. Dengan demikian, menurut golongan ini, orang yang telah berbuat
dosa besar di hukumkan kafir.
Al
Azriqah
Yakni
golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan
al-Muhakkimah hancur adalah golongan Azariqah. Subsekte ini sikapnya lebih
radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term
musyrik atau polytheist. Dan ini dalam islam syirik atau polytheisme merupakan
dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr.
Menurut
subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam.
Sedangkan orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang
harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azriqah, sebagai disebut Ibn Al-Hazm,
selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang.
Al-Nadjat
Najdah
Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin
menggabungkan diri dengan golongan al-Azriqah. Tetapi dalam golongan yang
tersebut akhir ini timbul perpecahan. Najdah berlainan dengan kedua golongan di
atas, berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam
neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun
pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi
bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Seterusnya
ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui
Allah dan rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada
seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui
ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud dengan orang Islam disini adalah pengikut
Najdah.
Al-Ajaridah
Mereka
adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad menurut al-Syahrastani merupakan
salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.
Kaum
Ajdariah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah
merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn al-Azraq dan Najdah,
tetapi hanya merupakan kebajikan.
Kemudian
‘Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Quran membawa
cerita cinta dan Al-Quran, sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin
mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf
sebagai bagian dari Al-Quran.
Al-Sufriah
Pemimpin
golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham. Mereka dekat dengan gologan
al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan ekstrim. Hal-hal yang
mebuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a. Orang
Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka
tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar mrnjadi
musyrik.
d. Daerah
golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang
harus diperangi.
e. Kurf
dibagi dua: Kurf bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari nikmat Tuhan dan kurf bi
inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak
selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Al-Ibadiah
Golongan
ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij.
Namanya diambil dari ‘Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri
dari golongan al-Azariqah.
Paham
moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a. Orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik,
tetapi kafir.
b. Daerah
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka kecuali camp pemerintahan
merupakan dar tauhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan dan tidak
boleh diperangi.
c. Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan,
tetapi bukan mukmin dan bukan kafir millah, yaitu kafir agama.
d. Yang
boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Oleh
karena itu, jika golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal
sejarah, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di
Zanzibar, Afrika Utara, Umman, dan Arabia Selatan. Adapun golongan-golongan
Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun ajaran-ajaran mereka sebagai golongan telah
hilang dalam sejarah., ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh
walupun tidak banyak dalam masyarakat Islam sekarang.
PAHAM
TEOLOGIS KAUM MURJIAH
Sebagaimana
halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murjiah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan
politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan
umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum
Khawarij pada mulanya adalah penyokong ‘Ali tetapi kemudian berbalik menjadi
musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia
padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu
golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama syi’ah.
Dalam
suasana pertentangan serupa inilah , timbul suatu golongan baru yang ingin
bersikap netral dan tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang
terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang
bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar
dari jalan yang benar.
Dengan
demikian kaum Murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil
sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan
itu kepada Tuhan.
Pada
umumnya kaum Murjiah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat
dan golongan ekstrim.
Golongan
moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa busar bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya
dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya
dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Definisi
yang diberikan Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau dengan kata
lain, iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam
yang berdosa besar dan iman orang yang patuh menjalankannperintah-perintah
Allah. Ini boleh pula membawa kepada kesimpulan bahwa Abu Hanifah yang dikenal
sebagai imam mazhab yang banyak berpegang pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah
juga berpendapat bahwa perbuatn atau ama tidak penting, rasanya tidak dapat
diterima.
Bertolak
dari definisi Abu Hanifah tersebut di atas yaitu, bahwa perbuatan atau amal
tidak penting, ada ulama-ulama yang tidak menyetujui dimasukkan Abu Hanifah
dalam golongan Murjiah. Untuk memasukan Abu Hanifah dalam golongan Murjiah
ekstrim memang tidak mungkin, tetapi untuk memasukannya ke dalam golongan
Murjiah moderat, rasanya tidak ada salahnya.
Bagaimanapun
juga Abu Hanifah berpendapat bahwaorang Islam yang bedosa besar bukanlah kafir,
tetapi tetap mukmin. Kaum Murjiahlah yang pertama sekali mengeluarkan pendapat
yang demikian.
Menurut
al-Asy’ari sendiri iman adalah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan
tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya
dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman.
Pendapat yang diuraikan al-Asy’ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan
golongan Murjiah moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka Ibn Hazm memasukkan
al-Asy’ari ke dalam golongan kaum Murjiah.
Paham
yang sama diberikan dengan al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga
macam iman:
a. Iman
yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka:
yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk, sifat-sifat
Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b. Iman
yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seseorang serta
yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan sedala yang wajib danmenjauhi segala dosa besar.
c. Iman
yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa
perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnah dan menjauhi
segala dosa.
Dengan
demikian bahwa golongan Murjiah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri
setelah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr, dan
dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murjiah
ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam
praktek masih terdapat sebagian umat Islam yanng menjalankan ajaran-ajaran
ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini
mengikuti ajaran-ajaran golongan Murjiah ekstrim.
SEJARAH
MUNCULYA MU’TAJILAH
Kaum
Mu’tajilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murjiah.
Berbagai
analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tajilah kepada mereka. Urian
yang biasa disebut buku-buku ilm al kalam berusat pada peristiwa yang terjadi
antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di
Bashrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan
al-Basri di Mesjid Basrah.
Menurut
Al Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan
al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai
persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari
Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tajilah
karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang soal orang yang
berdosa besar.
Al
Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan
pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari
satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak yang lain. Mereka disebut kaum
Mu’tajilah karena mereka berpendapat bahwa berdosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (manzilah bainal
manzilatain).
Disamping
keterangan klasik. Ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama
Mu’tajilah sudah ada sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan
sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu
dipakai sebagai designatie terhdap golongan orang-orang yang tak mau turut
campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman bin
‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Untuk
mengetahui asal-usul nama Mu’tajilah dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai
pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang
jelas nahwa nama Mu’tajilah sebagi designatie bagi aliran teologi rasional dan
liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di
Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula
terdapat kata-kata i’tazala, al-mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang teradapat
antara Mu’tajilah pertama dengan Mu’tajilah kedua, fakta-fakta yang ada belum
dapat memberikan nama Mu’tajilah kepada Wasil dan pengkut-pengikutnya tidak
pula jelas.
Dengan
demikian, dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang yang pertama kali
membina aliran Mu’tajilah adalah Wasil Ibn ‘Ata. Sebagian dikatakan al-Mas’udi,
ia adalah Syaikh al-Mu’tajilahwa qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tajilah yang
tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meningal tahun 131 H.
Kaum
Mu’tajila sebagai aliran ketiga tidak menerima dengan pendapat-pendapat yang
dikemukan oleh mereka yang berasal dari golongan Khawarij dan juga Murjiah.
Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin. Orang
yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan
kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manjilah bainal
manjilatain.
Dalam
pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan
nama al qadariah dan al jabariah. Menurut qadariah manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya free will
dan free act. Jabariah sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Teologi
mereka yang bersifat rasional dan liberal itu begitu menarik bagi kaum intelegensia
yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah di
permualaan abad ke 9 Masehi sehingga Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra dari
Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M). Pada tahun 827 M, menjadikan teologi
Mu’tajilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara .
PERBEDAAN
PANDANGAN TEOLOGIS KAUM KHAWARIJ DAN MURJIAH
Khawarij
Pada
masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga
pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam
peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan
Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir. Setiap ummat Muhammad yang terus
menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka
dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka. Membolehkan tidak mematuhi
aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada
faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak
idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan
bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa
lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang
watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci)
kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya,
menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya
manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua
manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam
segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada
keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan
mengutip beberapa ayat Alquran, mereka berusaha mempropagandakan
pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana
tercermin di bawah ini:
1. Mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang
ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan
kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak
bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
3. Khalifah
tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa
khalifah harus dari suku Quraisy.
4. Ketaatan
kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan.
Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5. Mereka
menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
Murjiah
Faham
aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan
dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran
ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”,
mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal
siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan
langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah
“memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal
ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak
mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan
taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah
terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan
maksiat, ia masih dikatakan mukmin. Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah
adalah sebagai berikut:
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Sekte-sekte
Murji’ah
Kaum
Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran
Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan
“golongan ekstrim”. Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum
sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim,
yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya
kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi
kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah
berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah
menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan
seorang mukmin yang sempurna imannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar