4 April 2011

Sejarah Ilmu Kalam

Sejarah Ilmu Kalam
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Usul al Din dan oleh karena itu soal-soal dalam Islam selalu diberi nama Kitab Usul al-Din oleh para pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ‘ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat-sifat Tuhan.
Selanjutnya teologi Islam disebut juga dengan ‘ilm kalam. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuahan maka teologi Islam disebut ‘ilm kalam, karena soal kalam, sabda Tuhan atau al-Quran pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X masehi.
Teologi dalam Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam.
Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada juga yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai denga jiwanya teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal.
Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam.
Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa persoalan yang timbul dalam Islam bukanlah pada persoalan teologi namun dalam bidang politik. Tetapi persoalan politik ini juga melebar menjadi masalah teologi. Ada beberapa perkembangan yang menjelaskan tentang perkembangan teologi Islam.
Ketika nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Dipertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk Persia_Euphrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syria. Denga berpindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang.
Dari dagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Dagang di kota ini dipegang oleh Quraisy dan sebagai orrang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyarakat pemerintahan Mekkah juga terletak di tangan mereka. Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad, sehingga beliau dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkah pergi ke Yastrib di tahun 622 M.
Suasana masyarkat di Yastrib berlainan dengan suasan Mekkah. Kota ini bukanlah kota pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arabnya tersusun dari dua suku bangsa, al-Khazraj dan ‘aus. Ketika pemuka-pemuka kedua suku bangsa ini pergi naik haji ke Mekkah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad dan dalam satu perjumpaan dengan beliau mereka meminta supaya Nabi pindah ke Yastrib.
Ketika beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah.
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Rasulullah sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tak dapat digantikan.
Sejak wafatnya Rasulullah dan timbulnya perselihan mulai dari menggantikan posisi Nabi menjadi pemimpin sehingga para sahabat yang telah memimpin menggantikan Nabi, baik dalam bidang politik atau agama, maka dalam hal ini pula yang mengakibatkan munculnya persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
PAHAM TEOLOGIS KAUM KHAWARIJ
Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn ‘As, Abu Musa Al Asy-‘ari dan lain-lain yang menerim arbitrase adalah kafir, dengan alasan dalil Al Quran:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآاَنْزَل اللهُ فَاُولَئِكَ هُمُ الَكافِرُونَ.
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma ilallah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau opostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh ‘Ali Ibn Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukanlah anggota suku Quraisy saja, bahkan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asalkan orang Islam, sekalipun ia hamba sahaya yang berasal dari Afrika.
Menurut Al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte dan menurut Al-Baghdadi dua puluh subsekte. Al-Asy’ari menyebut subsekte-subsekte yang jumlahnya lebih besar lagi. Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke-Badawian mereka. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan.
Ajaran-ajaran Islam, sebagai terdapat dalam Al-Quran dan Hadits mereka artikan menurut lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat merea tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap agama Islam menurut paham mereka, walaupun penyimpangan dalam bentuk kecil.
Al Muhakkimah
Golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali, disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, ‘Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn ‘As dan Abu Musa Al Asy’ari dan semua orang yang menyetuji arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Dengan demikian, menurut golongan ini, orang yang telah berbuat dosa besar di hukumkan kafir.
Al Azriqah
Yakni golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan Azariqah. Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Dan ini dalam islam syirik atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr.
Menurut subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Sedangkan orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azriqah, sebagai disebut Ibn Al-Hazm, selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang.
Al-Nadjat
Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azriqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Seterusnya ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allah dan rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud dengan orang Islam disini adalah pengikut Najdah.
Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad menurut al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.
Kaum Ajdariah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan.
Kemudian ‘Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Quran membawa cerita cinta dan Al-Quran, sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Quran.
Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham. Mereka dekat dengan gologan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan ekstrim. Hal-hal yang mebuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a.       Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar mrnjadi musyrik.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi.
e.       Kurf dibagi dua: Kurf bin inkar al-ni’mah yaitu mengingkari nikmat Tuhan dan kurf bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.
Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.
Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a.       Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
b.      Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka kecuali camp pemerintahan merupakan dar tauhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan dan tidak boleh diperangi.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir millah, yaitu kafir agama.
d.      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Oleh karena itu, jika golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal sejarah, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman, dan Arabia Selatan. Adapun golongan-golongan Khawarij ekstrim dan radikal, sungguhpun ajaran-ajaran mereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah., ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh walupun tidak banyak dalam masyarakat Islam sekarang.
PAHAM TEOLOGIS KAUM MURJIAH
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murjiah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum Khawarij pada mulanya adalah penyokong ‘Ali tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama syi’ah.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah , timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral dan tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar.
Dengan demikian kaum Murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Pada umumnya kaum Murjiah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa busar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Definisi yang diberikan Abu Hanifah ini menggambarkan bahwa semua iman, atau dengan kata lain, iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang yang patuh menjalankannperintah-perintah Allah. Ini boleh pula membawa kepada kesimpulan bahwa Abu Hanifah yang dikenal sebagai imam mazhab yang banyak berpegang pada logika. Tetapi bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbuatn atau ama tidak penting, rasanya tidak dapat diterima.
Bertolak dari definisi Abu Hanifah tersebut di atas yaitu, bahwa perbuatan atau amal tidak penting, ada ulama-ulama yang tidak menyetujui dimasukkan Abu Hanifah dalam golongan Murjiah. Untuk memasukan Abu Hanifah dalam golongan Murjiah ekstrim memang tidak mungkin, tetapi untuk memasukannya ke dalam golongan Murjiah moderat, rasanya tidak ada salahnya.
Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwaorang Islam yang bedosa besar bukanlah kafir, tetapi tetap mukmin. Kaum Murjiahlah yang pertama sekali mengeluarkan pendapat yang demikian.
Menurut al-Asy’ari sendiri iman adalah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Pendapat yang diuraikan al-Asy’ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan golongan Murjiah moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka Ibn Hazm memasukkan al-Asy’ari ke dalam golongan kaum Murjiah.
Paham yang sama diberikan dengan al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman:
a.       Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka: yaitu mengakui Tuhan, Kitab, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.      Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan sedala yang wajib  danmenjauhi segala dosa besar.
c.       Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunnah dan menjauhi segala dosa.
Dengan demikian bahwa golongan Murjiah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri setelah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr, dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murjiah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam yanng menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murjiah ekstrim.
SEJARAH MUNCULYA MU’TAJILAH
Kaum Mu’tajilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murjiah.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tajilah kepada mereka. Urian yang biasa disebut buku-buku ilm al kalam berusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Bashrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di Mesjid Basrah.
Menurut Al Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tajilah karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar.
Al Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak yang lain. Mereka disebut kaum Mu’tajilah karena mereka berpendapat bahwa berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi itu (manzilah bainal manzilatain).
Disamping keterangan klasik. Ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tajilah sudah ada sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terhdap golongan orang-orang yang tak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tajilah dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas nahwa nama Mu’tajilah sebagi designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata i’tazala, al-mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang teradapat antara Mu’tajilah pertama dengan Mu’tajilah kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan nama Mu’tajilah kepada Wasil dan pengkut-pengikutnya tidak pula jelas.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang yang pertama kali membina aliran Mu’tajilah adalah Wasil Ibn ‘Ata. Sebagian dikatakan al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Mu’tajilahwa qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tajilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meningal tahun 131 H.
Kaum Mu’tajila sebagai aliran ketiga tidak menerima dengan pendapat-pendapat yang dikemukan oleh mereka yang berasal dari golongan Khawarij dan juga Murjiah. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al manjilah bainal manjilatain.
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al qadariah dan al jabariah. Menurut qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya free will dan free act. Jabariah sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal itu begitu menarik bagi kaum intelegensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah di permualaan abad ke 9 Masehi sehingga Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra dari Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M). Pada tahun 827 M, menjadikan teologi Mu’tajilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara .
PERBEDAAN PANDANGAN TEOLOGIS KAUM KHAWARIJ DAN MURJIAH
Khawarij
Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir. Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka. Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Alquran, mereka berusaha mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini:
1.      Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2.       Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
3.      Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh   karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4.      Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5.      Mereka menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum  Islam.  
Murjiah
Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin. Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah sebagai berikut:
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
Sekte-sekte Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”. Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar